Persahabatan


Saudaraku,
Dalam kafilah da’wah ini, kita mutlak membutuhkan persahabatan. Persahabatan - mungkin lebih tepatnya ukhuwah- adalah nikmat yang sangat mahal bagi kita. Raga boleh terdera, darah, air mata dan peluh boleh mengucur. Tapi semuanya tak bisa memupus nikmat persahabatan, persaudaraan, ukhuwah di jalan-Nya. Kesulitan di sepanjang jalan ini, tak lebih berupa anugerah dan karunia Allah yang sangat besar dan hanya dirasakan oleh kaum beriman yang saling memelihara persaudaraan atas nama Allah. Tapi bagaimana kita bisa memiliki nikmat persahabatan itu?
Saudaraku, ingatlah,
Di jalan ini, kita harus mampu memelihara sikap lemah lembut dan berusaha menjaga hubungan baik dengan teman seperjalanan. Dan itu bukan perkara mudah. Karena keberhasilan kita dalam menjaga persahabatan di jalan ini, bisa menjadi ukuran kadar keberhasilan kita memiliki hubungan sosial yang baik dengan masyarakat. Dengarkanlah ungkapan seorang ulama dakwah Dr. Adil Abdullah al-Laili, "Siapa saja yang berhasil melakukan perjalanan dengan para juru dakwah dalam kafilah ini, berarti ia akan bisa hidup dengan manusia yang lain dan ia juga akan berhasil menasihati dan mengarahkan mereka. Sebab ada seorang mukmin yang baik bagi dirinya tapi ia kurang baik bila ia bergabung bersama orang lain dalam kafilah ini." (Musafir fi Qithari Da’wah)
Persis ketika kita melakukan perjalanan yang sesungguhnya, seorang musafir harus menolong saudara saudaranya dalam perjalanan. Persahabatan yang tulus di jalan ini menjadi perhiasan di kala bahagia dan pelindung di kala sulit. Maka, tanpa ikatan persahabatan yang kuat, seseorang akan sulit bertahan ketika harus menghadapi kesempitan. Itu pula sebabnya, para da’i zaman ini menjadikan ukhuwah sebagai salah satu syarat dalam bai’at (janji keanggotaan) mereka. Dalam Risalah Ta’lim disebutkan, "Hendaknya hati dan jiwa mereka (para anggota) terikat dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah ikatan paling kuat dan paling mulia. Ukhuwah adalah saudara keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kekufuran. Awal kekuatan adalah kekuatan persatuan. Tak ada persatuan tanpa cinta. Paling minim cinta yang tumbuh di antara mereka adalah bersihnya hati dari perasaan yang tidak baik dengan sesama. Dan cinta yang paling tinggi adalah itsar atau mendahulukan kepentingan saudaranya."
Saudaraku di jalan dawah,
Persahabatan yang dikehendaki juga tidak boleh berlebihan. Artinya, cinta tak boleh mengabaikan asas keadilan dan objektifitas hingga menyeberang pada sikap fanatik buta dan 
ta’ashub. Syariat Islam melarang kita terlalu keras dalam mencaci, juga melarang terlalu berlebihan dalam memuji. Syariat melarang sikap berlebihan dalam segala hal. Berlebihan dalam cinta akan mendorong orang meremehkan hak orang lain. Dan setiap sesuatu yang melewati batasnya ia akan berakibat pada kebalikannya.
Neraca untuk bisa mencintai dengan adil adalah dengan melakukan tawashi atau saling mewasiati dalam kebenaran. Seseorang harus bisa menasihati saudaranya, mengingatkannya untuk kembali pada kebaikan dan memerintahkannya untuk menghindari larangan Allah. "Seorang mukmin dengan mukmin lainnya itu seperti dua tangan yang saling membersihkan dan menyucikan," begitu kata seorang ulama. 
Dalam kerangka itu, seorang da’i sebagaimana seorang musafir perlu berbicara dan bertukar pikiran dengan teman perjalanannya. Ia harus bisa menyampaikan kritik atau menolak pendapat. Keduanya adalah untuk meluruskan penyimpangan. Memang, ada sebagian orang yang memandang penolakan atau kritik adalah bagian dari kebencian. Dan bahwa dialog itu dapat memicu perselisihan. Tapi ini cara berpikir yang keliru.
Seorang manusia akan tetap berbeda pendapat karena mereka memang berbeda dalam hal pemahaman dan akal. Mereka berbeda pengetahuan dan pengalaman, berbeda perasaan dan pandangan. Karena itu pasti ada perbedaan dan perselisihan. Karena itu, yang diperlukan adalah bagaimana seseorang memandang pendapat yang dianggapnya tidak benar untuk diberi masukan dengan baik. Berdiskusi dan beradu argumen tetap diperlukan untuk menjelaskan kebenaran dan menjelaskan jalan. 
Dan bila itu tujuannya, kritik, koreksi, adu argumen, diskusi, penolakan, semuanya seharusnya tidak memicu permusuhan atau rasa benci. Yang seharusnya muncul adalah suasana kasih dan cinta yang semakin kuat. Para sahabat Rasulullah juga berdebat dalam menyelesaikan suatu masalah melalui musyawarah dan saling menasihat. Tapi mereka tetap memelihara kedekatan, kebersihan niat dan persaudaraan dalam agama. (fatawa Ibnu Taimiyah, 24/173). Dari sini lah para ulama terdahulu pun biasa saling tidak sepakat dalam suatu masalah.
Selain itu saudaraku,
Diskusi diantara para da’i itu penting karena akan dapat memperluas pikiran, mempertajam pandangan, meluruskan kesalahan, memperbaiki kesalahan dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Ilmu secara teoretis tidak akan mencapai posisi sempurna selama tidak ditimbang dengan akal.
Imam Syafi’i pernah ditanya apakah kemampuan akal itu merupakan potensi yang dibawa sejak lahir? Jawabannya, "Tidak, tapi akal itu adalah hasil dari pergaulan dengan banyak orang dan berdiskusi dengan mereka." Berkata Ibnu Abbas ra, "Mengunyah garam dalam sebuah jama’ah masih lebih baik daripada memakan puding dalam perpecahan."
Saudaraku,
Ada persiapan yang harus kita miliki agar kita bisa memiliki kesiapan untuk melontarkan pendapat dan menerima kritik dengan baik. Yang paling pertama adalah kesiapan meringankan beban saudara kita. Kenapa? Sebab bagaimana orang mau mendengar dan merespon dengan baik bila ia masih memiliki beban yang menggelayuti dirinya. Karena itu, untuk menjalin persahabatan yang tulus, seseorang harus memiliki keyakinan dahulu akan kasih sayang sahabatnya, awal haknya adalah meyakini kasih sayangnya, kemudian menjalin persahabatan dengannya dengan memberi keluasan padanya pada selain yang haram, lalu menasihatinya baik secara sembunyi atau terang terangan, lalu meringankan bebannya, dan menolongnya dari apa yang menimpa dirinya. Sesungguhnya menemaninya secara zhahir adalah nifaq, dan meninggalkannya dalam kesulitan dan kesusahan adalah penghinaan. (Adabu dunya wa din, Mawardi, 177).
Demikianlah kedudukan nasihat dari orang yang mansihati, dan menerima jawaban, menerima kritikan. Bila hati bersih maka ia akan semakin siap menerima nasihat dan mendengaarkan nasihat. Tapi bila hati ternoda, dan hati sibuk dengan banyak problem, seperti kesibukan, rasa sakit, kelelahan, atau kesibukan dengan urusan rumah, itu semua akan menghalangi orang untuk mendengar. Apalagi membantu meringankan beban saudaranya. Wallahu’alam.


kumpulanmotivasipagi.blogspot.com