Allah tujuan kami


Tugas, misi, bahkan tujuan dari penciptaan manusia adalah ibadah kepada Allah swt.“Dan tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku."(QS.Adz-Dzaariyaat, 51: 56). Ibadah dengan segala maknanya yang utuh dan luas. Manusia tidak akan mampu mewujudkan kemanusiaan, kebahagiaan, kemerdekaan, dan kemuliaannya, melainkan dengan memurnikan pengabdian kepada Al-lah swt. Kemuliaan dirinya terletak pada kerendahannya kepada Tuhannya. Seorang Muslim adalah seorang hamba yang merdeka saat ia melantunkan, “Hanya kepada Engkau kami mengabdi dan banya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” Ibadah memenuhi seluruh relung kehidupannya siang dan malam. Dia adalah hamba Allah di tengah malam dan siang hari. Dia adalah hamba dalam segala gerak dan diamnya. Dia adalah hamba Allah di masjid, di rumah, di lembaga, di pekerjaan, atau di jalan. Ke mana ia mengarah dan berjalan, ia menghadap Allah.
Jadi dia adalah hamba Allah dalam kehidupan ta’abbudiyah (ritual), dalam syariat, dan dalam perundang-undangan. Ia adalah hamba Allah dalam kehidupan pendidikan dan keilmuan, kehidupan politik, sosial, perilaku dalam keluarga, serta dalam kehidupan pribadi dan kehidupan publik. Dia adalah hamba Allah dalam pengelolaan manajerial, perencanaan, pengorganisasian. Jadi, masalah paling menonjol dalam kehidupannya adalah ibadah kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Aktivitas baku dalam hidupnya adalah ibadah. Hal terindah yang mewarnai hidupnya adalah ibadah. Hari-hari yang paling membahagiakannya adalah hari-hari ibadah.
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan pengabdian kepada-Nya.” (Qs. Al Bayyinah, 98: 5)
Dengan ibadah, kita akan mencapai kepeloporan dan kepemimpinan. Benar Imam Hasan Al Banna saat mengatakan, “Jadilah kalian para hamba Allah sebelum menjadi pemimpin. Ibadah akan mengantarkan kalian pada sebaik-baik kepemimpinan.” Dengan demikian ia tidak akan melepaskan pengabdian kepada Allah selamanya. Walaupun mereka meletakkan matahari di tangan kanan dan rembulan di tangan kiri, ia tidak akan menanggalkan kemerdekaannya. Sebab siapa yang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benar pengabdian maka segala sesuatu akan takut olehnya dan akan menjadi kuat dengan kekuatan Allah. Ia tidak akan congkak tapi juga tidak rela dihinakan makhluk seraya ia melantunkan, “Hanya kepada Engkau kami mengabdi dan banya kepada Engkau kami memohon pertolongan.
Puncak kecintaan dan puncak kerendahan hanyalah untuk Allah Tuhan sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Karenanya ia tidak akan gentar di hadapan orang yang angkara murka, tidak pula akan merasa lemah di hadapan orang yang bengis. Ia tetap merasa tinggi dengan imannya. Ia akan tangguh dalam mempertahankan prinsip meskipun secara lahiriah ia tidak memiliki kekuatan fisik dan material.
Dan ingatlah, (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu, makaAllah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur." (Qs. Al Anfaal, 8: 26)
Namun demikian, yang ingin kami tegaskan di sini adalah bahwa manusia tidak boleh mengandalkan “modal dengkul” melainkan harus bertumpu pada tiga faktor: akal, tubuh, dan hati. Panji kepeloporan ditegakkan di atas ketangguhan jiwa dan kelurusan hati. Tercapainya ketiga hal itu, baik buruknya akan terefleksikan pada sifat-sifat jiwa manusia. Kebaikan tidak akan terwujud kecuali jika yang menjadi ghayah (tujuan) adalah Allah semata.
Mata Air yang Jernih
Seorang Muslim pada masa Rasulullah saw menjadikan Al Quran sebagai sumber mata air satu-satunya betapa pun saat itu telah ada peradaban Romawi dan Yunani, Persia dan India, China, bahkan Yahudi dan Nasrani di jantung Jazirah Arab. Mereka membaca Al Quran bukan dalam rangka kesenangan dan wawasan semata, melainkan untuk dilaksanakan. Sampai-sampai ketika seseorang masuk Islam serta merta ia meninggalkan dan menanggalkan masa lalunya yang bercorak jahili seraya berdiri di hadapan Islam dalam keadaan bagaikan baru saja dilahirkan oleh ibunya untuk segera mengenakan pakaian Islam. “Dan pakaian takwa itulah yang baik.” Ia tidak menginginkan selain ridha Allah.
Ia menyerap kekuatan dari iman dan akidahnya; mengambil petunjuk dari keduanya dalam kehidupan, menegaskan orientasi hidupnya dengan bimbingan keduanya; berhias diri dengan akhlak akidah ini yang dapat menshalihkan individu. Dengan keshalihan individu, masyarakat Muslim akan berpadu dengan ikatan perasaan yang menguasai mereka, dengan nilai-nilai yang mengatur mereka, dan dengan cinta menaungi mereka. Sebab, tidak mungkin terjadi perpaduan, ikatan, dan cinta, serta tidak akan terwujud keharmonisan dalam masyarakat tanpa adanya kesatuan akhlak dan keselarasan di antara para anggotanya dalam hal perilaku, orientasi dan tujuan, yakni: Allah swt.
Oleh karena itu, aturan akhlak dalam Islam tidak membiarkan ruang dalam urusan pribadi maupun masyarakat; baik dalam urusan pemikiran, peradaban, maupun ruhani, melainkan pasti ia menetapkan manhaj (aturan) perilaku berdasarkan kaidah tertentu. Aturan akhlak Islam melampaui urusan hubungan seseorang dengan dirinya dan dengan sesama manusia.
Ia mencakup hubungannya dengan alam semesta. la meletakkan arahan dan tata krama yang tinggi. Segala aturan itu menjadi harmoni yang indah dalam kehidupan Muslim. Hak dan kewajiban menjadi sangat jelas, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak yang wajib kau tunaikan. Dan dirimu mempunyai hak atasmu yang wajib kau tunaikan. Dan keluargamu punya hak atasmu yang wajib kau tunaikan. Istrimu punya hak atasmu yang wajib kau tunaikan. Maka tunaikanlah hak setiap pihak.” (HR. Bukhari). Jika kita menunaikan kewajiban dan hak kita, maka pasti kita bangkit untuk mencapai tujuan.
Benar bahwa kita ingin bangkit. Akan tetapi, tujuan dari kebangkitan adalah mewujudkan pengabdian sempurna kepada Allah. Karenanya, hendaklah kita menjadi orang-orang dengan tangan senantiasa berwudhu, kening yang senantiasa bersujud, kaki yang bengkak-bengkak karena lama berdiri dalam shalat, telapak tangan yang menengadah dalam doa, hati yang senantiasa takut kepada Allah. Di malam hari bagaikan para rahib sedangkan di siang hari menjadi para penunggang kuda yang gagah perkasa.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut namaAllah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (Qs. Al Anfaal, 8: 2-4)
Mereka adalah mukmin sejati karena tujuan mereka adalah Allah. Itu tetap akan menjadi tujuan hingga dalam keadaan kita – dengan karunia Allah – berada di surga sekalipun. Allah adalah tujuan di atas segala tujuan. Tujuan macam itu merupakantsawabit (hal yang sangat prinsip) dalam pemikiran dan konsep dakwah kita. Tujuan dalam mencari ridha Allah itu menuntut kita untuk senantiasa menimbang-nimbang segala aktivitas dan urusan dakwah yang dijalaninya dengan keridhaan Allah itu. Setiap tujuan yang diridhai Allah maka hal itu dapat diterima dalam prinsip dakwah kita. Dan setiap tujuan yang membuat Allah murka adalah tertolak berdasarkan prinsip dakwah kita.



kumpulanmotivasipagi.blogspot.com