Kepekaan jiwa


Para pahlawan mukmin sejati mempunyai pendengaran jiwa yang sangat peka. Ia dapat menangkap semua panggilan kepahlawanan, darimana pun datangnya panggilan itu, dan sekecil apa pun suara panggilan itu. Panggilan kepahlawanan itu senantiasa menciptakan getaran dalam jiwanya, getaran yang senantiasa menggodanya untuk mengepakkan sayap cita memenuhi panggilan itu.
Suatu ketika Rasulullah saw mengatakan kepada sahabat-sahabatnya, “Suatu saat Konstantinopel pasti akan dibebaskan, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang membebaskannya, dan sebaik-baik komandan adalah komandan yang memimpin pembebasan itu”. Demi mendengar sabda sang Rasul, para sahabat beliau segera bergegas mempersiapkan diri. Tapi Abu Ayyub Al-Anshari langsung mengambil kudanya, menerjang gurun Sahara menempuh jalan panjang menuju Konstantinopel, seorang diri.
Kota itu sendiri baru dibebaskan kaum muslimin delapan ratus tahun kemudian, pasukan Utsmaniyah dibawah pimpinan seorang pemuda berusia 23 tahun, Muhammad Al-Fatih Murad. Tapi Abu Ayyub Al-Anshari telah mencatat namanya sendiri pada sebuah ruang sejarah kepahlawanan yang terhormat, sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu. Apakah beliau sempat membunuh musuh-musuh Allah dalam perjalanan itu? Tidak! Tapi posisi terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu telah menjadi hak sejarah beliau.
Jadi apa yang tepatnya telah beliau lakukan untuk itu? Yang beliau lakukan untuk itu adalah memenuhi panggilan kepahlawanan itu di awal bunyi suara panggilan itu, menyatakan rindu yang jujur pada kehormatan menjadi syahid di awal senandung nada kepahlawanan itu, mengepakkan sayap cita menuju jalan pembebasan begitu sang Rasul menyelesaikan sabdanya.
Kepioniran adalah sebuah kehormatan tersendiri, karakter yang unik dari sebuah kepahlawanan, dan karenanya ia mempunyai ruangnya sendiri dalam sejarah kepahlawanan. Dalam semangat kepioniran tersimpan getaran kepekaan jiwa sang pahlawan, yang dapat merasakan sentuhan kepahlawanan dari kejauhan. Dalam semangat kepioniran ada rindu yang tak pernah selesai dari sebuah penantian panjang akan datangnya momentum kepahlawanan setiap saat. Para pahlawan itu seperti berdiri disini, diujung jalan sejarah, menanti kereta kepahlawanan yang setiap saat akan lewat.
Begitulah juga Hanzalah. Ia masih sedang menikmati dunia yang halal di malam pengantin ketika panggilan jihad itu menggema di seantero kota Madinah. Ia segera meninggalkan kenikmatan halal itu sebelum sempat mandi, dan kemudian syahid dalam keadaan masih junub. Malaikatlah yang kemudian memandikannya.
Begitulah ia menggapai singgasananya dalam sejarah kepahlawanan, ketika ia mempertemukan dua dunia yang tampak kontras dan berlawanan, tapi kemudian menyatu dengan indah dan begitu mengharukan dalam rengkuhan semangat kepioniran, getaran kepekaan, dan rindu pada keabadian yang tak pernah selesai.
Sekarang bertanyalah kita, apakah getaran kepekaan itu dapat ditumbuhkan atau ditularkan kepada generasi pelanjut yang tak pernah merasakan getir dan kerasnya perjuangan? Jawabannya tentu bisa. Asalkan generasi pelanjut mau keluar dari zona nyaman, lalu pergi menghadang tantangan zamannya. Karena anugrah kepahlawanan hanya layak disandang oleh pejuang yang berjiwa kuat. Bukan oleh mereka yang manja dan penakut.  Wallahu’alam



kumpulanmotivasipagi.blogspot.com